Berbicara tentang feminisme di Indonesia memang tidak pernah ada habisnya. Misalnya yang sedang hangat adalah kasus kekerasan seksual dan kasus diskriminasi yang kerap terjadi terhadap kaum perempuan. Seolah perempuan menjadi sasaran empuk untuk pelampiasan. Belakangan ini muncul kasus kekerasan seksual yang korban dan pelakunya adalah mahasiswa. Miris sekali memang, lagi-lagi korbannya adalah perempuan. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan meningkat delapan kali lipat selama 12 tahun.
Any way mengapa ada feminisme? Lalu apa sebenarnya
feminisme itu? Apakah masih belum setara dan bukankah sudah ada emansipasi?
Jawabannya adalah feminisme menurut KBBI yaitu gerakan perempuan yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki, karena feminis
merupakan sistem patriarki, sistem di mana laki-laki mendominasi perempuan
dalam memegang peranan dari seluruh lapisan. Ketika membahas mengapa perlu
membahas feminisme, karena feminisme kerap kali dianggap negatif yang akhirnya berubah menjadi positif
agar menjadi lebih baik hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan feminisme di
Indonesia, agar perempuan di Indonesia dalam gerakan
sosialnya bisa saling berkontribusi. Ketika melihat perkembangan di
dunia barat yang mengadvokasi perempuan dari kesetaraan gender, hak perempuan
bisa kita lihat dari gerakan womens march hingga mitoo, gerakan tersebut
mencoba untuk mengadvokasikan kesetaraan gender dari lingkungan perempuan. Kemudian gerakan womens march juga diikuti di Indonesia
bahkan Internasional, setiap tanggal 8 Maret.
Bagaimana perempuan di saat masa pandemic?
Perempuan memiliki beban ganda di rumah. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa ada
75% dari kasus kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi di ranah privat dengan korban paling banyak perempuan
dan anak perempuan (Catahu Komnnas Perempuan 2020). Ketika pembagian kerja
seksual di dalam rumah yang tidak adil misalnya, memiliki kontribusi kepada
kekerasan seksual.Perempuan dituntut untuk memastikan bahwa laki-laki
dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan nyaman di rumah dan juga mendampingi
anaknya belajar menggantikan gurunya di sekolah. Yang lebih rentan lagi adalah seorang
perempuan, dirinya lebih rentan terkena COVID-19 saat memenuhi kebutuhan di
pasar.
Budaya patriarki memang masih terjadi, bila
tak terpenuhi maka perempuan akan rentan alami kekerasan fisik, psikis,
ekonomi, seksual di dalam rumah. Menjadi perempuan adalah anugerah, memiliki rahim,
merasakan menstruasi, hamil, melahirkan hingga nifas sampai menyusui tapi
perempuan masih saja rentan untuk menjadi sasaran stigmtisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan hingga pelecehan
sampai harus mempengaruhi kesehatan hingga gangguan kejiwaan. Semoga perempuan
memberikan perlawanan dan bisa speak up
ketika hidupnya mengalami kejanggalan.