Senin, 10 Oktober 2016

FILOSOFI NGAROT



Upacara adat ngarot merupakan salah satu kebudayaan tradisional Indonesia yang terdapat di Indramayu, tepatnya di kecamatan Lelea. Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Upacara adat ngarot diselenggarakan setiap kali memasuki musim penghujan (tepatnya pekan ke-3 di bulan Desember) sebagai tanda musim tanam padi.
datimyudhakarma.blogspot.com

 

Upacara yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur warga terhadap melimpahnya hasil pertanian. Upacara tersebut di peruntukan untuk para pemuda yang tinggal di daerah tersebut. Namun saat ini, generasi muda kurang berkontribusi terhadap upacara adat ngarot, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Ngarot tidak sampai kepada generasi muda serta kurangnya pengetahuan mereka tentang pesan apa saja yang disampaikan dalam upacara tersebut. Sedangkan generasi muda merupakan investasi bagi Negara yang akan melanjutkan peran leluhur untuk melestarikan kebudayaan Indonesia.
   Ngarot berasal dari kata ”ngaruwat” artinya membersihkan diri dari segala noda dan dosa akibat kesalahan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang pada masa lalu. Sedangkan menurut bahasa Sunda kuno Ngarot mempunyai arti minum, oleh pribumi disebut Kasinoman, karena pelakunya para kawula muda ( si enom artinya anak muda ). Uniknya hanya pemuda dan pemudi yang masih menjaga kesuciannya yang boleh ikut dalam acara ini karena jika pemuda atau pemudi sudah tidak suci akan terlihat sangat buruk di mata para peserta ngarot, dalam upacara ini para gadis desa peserta upacara di hias dengan mahkota bunga di kepalanya sebagai lambang kesucian. Tradisi ngarot tersebut biasanya dilaksanakan pada hari rabu wekasan sekitar bulan Desember.
nationalgeographic.co.id

Ada beberapa komponen utama dari budaya yaitu: Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi), Sistem mata pencaharian, Sistem kekerabatan dan organisasi sosial, Bahasa, Kesenian, Sistem Kepercayaan, Sistem ilmu dan pengetahuan. Dari sekian banyak komponen utama dari budaya ini yang sangat berpengaruh di Indonesia adalah Sistem kepercayaan, yang bersangkutan dengan agama dan kepercayaan tentang ruh nenek moyang. Ngarot bermaksud mengumpulkan para muda mudi yang akan diserahi tugas pekerjaan program pembangunan di bidang pertanian sambil menikmati minuman dan hiburan kesenian di balai desa. Acara pertemuan tersebut penuh keakraban dan saling bermaafan bila ada kesalahan diantara mereka. Pada dasarnya yang paling utama dari pertemuan tersebut agar para muda mudi menyadari bahwa tidak lama lagi mereka akan turun ke sawah, bekerja dan mengolah sawah bersama-sama, gotong royong saling bahu membahu secara sukarela, maka acara tersebut dinamakan “durugan” 
log.viva.co.id

            Ngarot bertujuan untuk membina pergaulan yang sehat, agar para muda mudi saling mengenal, saling menyesuaikan sikap, kehendak dan tingkah laku yang luhur sesuai dengan nilai-nilai budaya nenek moyang. Ngarot adalah suatu metode atau cara untuk menggalang dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan dikalangan para muda mudi khususnya dan masyarakat pada umumnya.
            Dalam pelaksanaan upacara adat ngarot ini hanya boleh diikuti oleh para pemuda-pemudi yang masih perjaka dan masih perawan dikumpulkan kemudian di arak keliling desa dengan kostum yang telah di tentukan. Biasanya para gadis-gadis perawan ini mengenakan kebaya yang didominasi warna merah, berkain batik, berselendang, dan rambut kepala dihias rangkaian bunga. Mereka lantas berjalan mengelilingi kampung. Sementara para jejaka tingting mengenakan baju pangsi warna kuning dan celana gombrang warrna hitam, lengkap dengan ikat kepala, mengikuti di barisan belakang. Konon katanya apabila gadis yang sudah tidak perawan atau janda yang memaksakan untuk ikut upacara ngarot (keliling desa) maka bunga melati yang ada di kepalanya itu akan cepat layu dan akan mendapat malapetaka, dan sampai sekarang mitos tersebut masih di percayai masyarakat setempat.



Upacara ngarot tersebut dirintis oleh kuwu (kepala desa) pertama Lelea yang bernama Canggara Wirena, tahun 1686. Awalnya, upacara tersebut bukan diperuntukkan sebagai "pesta mencari jodoh" seperti yang terjadi sekarang. Ngarot yang menurut bahasa Sunda berarti minum, merupakan arena pesta minum-minum dan makan-makan di kantor desa sebelum para petani mengawali menggarap sawah. Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bercocok tanam.
Kuwu Canggara Wirena sengaja mengadakan pesta Ngarot sebagai ungkapan rasa syukur kepada tetua kampung bernama Ki Buyut Kapol, yang telah rela memberikan sebidang sawah seluas 26.100 m2. Sawah tersebut digunakan para petani untuk berlatih cara mengolah padi yang baik. Demikian pula bagi kaum wanitanya, sawah digunakan sebagai tempat belajar bekerja seperti tandur, ngarambet (menyiangi), panen padi, atau memberi konsumsi kepada para jejaka yang sedang berlatih mengolah sawah itu.
Dulu, upacara Ngarot bukanlah sarana mencari jodoh, melainkan arena pembelajaran bagi para pemuda agar pintar dalam ilmu pertanian. Akan tetapi perkembangannya, upacara Ngarot berkembang menjadi ajang mencari jodoh atau pasangan hidup.
Dihindari Janda-Duda, upacara yang hanya boleh diikuti para perjaka dan perawan. Upacara dimulai jam 8.30 dengan berkumpulnya para muda-mudi berpakaian warna warni di halaman rumah Kuwu. Mereka dengan wajah penuh keceriaan berduyun-duyun menuju halaman rumah Pak Kuwu. Pakaian mereka indah-indah, dilengkapi aksesoris gemerlap, seperti kalung, gelang, giwang, bros, peniti emas, dan hiasan rambut. Untuk memikat hati para jejaki, para gadis selalu mengenakan kacamata dan kepalanya penuh di taburi bunga warna-warni seperti kenanga, melati, mawar dan kantil.
Upacara Ngarot ditandai dengan pawai arak-arakan sejumlah gadis dan perjaka desa. Para gadis berbusana kebaya yang didominasi warna merah, berkain batik, berselendang, dan rambut kepala dihias rangkaian bunga. Mereka lantas berjalan mengelilingi kampung. Sementara para jejaka tingting mengenakan baju pangsi warna kuning dan celana gombrang warna hitam, lengkap dengan ikat kepala, mengikuti di barisan belakang.
Seusai pesta pawai, semua peserta Ngarot masuk aula balai desa. Sambil duduk berhadap-hadapan dan ditonton orang banyak, mereka dihibur dengan seni tradi¬sional tari Ronggeng Ketuk yang dimainkan penari wanita degan pasangan pria. Menurut warga, seni Ronggeng Ketuk dimaksudkan untuk ngabibita (menggoda) agar para jejaka dan gadis saling bepandang-pandangan, untuk selanjutnya saling jatuh cinta.
Ketika para jejaka dan perawan bergembira ria, tidak halnya dengan kaum janda, duda dan remaja yang kehilangan keperawanan dan keperjakaannya. Pesta Ngarot merupakan upacara yang paling dihindari. Sebab bila mereka coba-coba menjadi peserta, bukan hanya aib yang bakal diterima, tapi juga malapetaka. Konon, jika seorang gadis tak perawan nekat mengikuti pawai arak-arakan Ngarot, maka bunga melati yang terselip di rambutnya, dengan sendirinya akan layu. Bila hal itu terjadi, maka si gadis akan mendapat aib karena sudah kehilangan kehormatan diri.
Tuah negatif untuk kaum janda berlaku pada saat berlangsung acara pokok Ngarot. Yakni ketika acara saling tatap mata dengan para jejaka. Wajah janda atau gadis tapi sudah tak perawan, meskipun sebelumnya berwajah cantik, tiba-tiba menjadi buruk rupa. Otomatis ia tidak akan mendapatkan pasangan. Bahkan yang lebih menakutkan, jika janda dan gadis tak perawan tadi nekat mengikuti upacara Ngarot, ia tak akan mendapat jodoh seumur hidup. Bagi kaum duda dan pemuda tak perjaka pun berlaku hal serupa.
Menurut warga di sana, sejak tahun 1990-an hingga sekarang, hampir 80 persen peserta Ngarot berhasil mendapatkan pasangan hidup menjalin rumah tangga dengan rukun. Namun belakangan, peserta Ngarot mulai menyusut. Anak remaja di Desa Lelea, kini sudah mulai enggan mengikuti pawai Ngarot. Entah apa penyebabnya. Akan tetapi, jika ingin mendapatkan jodoh yang masih “asli”, orang-orang tua di Indramayu menyarankan agar memilih peserta Ngarot.
SEMOGA SEBAGAI PENERUS DAPAT MELESTARIKAN, TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA....  



  DAFTAR PUSTAKA

Galbu, Sindu, Intan, dkk. 2004. Budaya Tradisional pada Masyarakat Indramayu. Bandung. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Kebudayaan Indramayu. (online). (http:/www.indramayukab.go.id
Saiman Purna Bhakti Kepala Desa Lelea: Sebagai penganalisis tahun 1985.